Begitulah sambutan Dias ketika kita mampir ke rumah barunya, meskipun dilabeli My Little House kita serasa masuk sebuah hall imajinasi yang begitu luas. My Little House berisi 8 perabotan tempur Dias dalam album perdananya ini.
Dibuka dengan lagu My Little House, judul yang sama dengan nama albumnya, mungkin menjadi salah satu track yang paling ngangeni. Ketika intronya dimainkan, secepat otak kalian teringat sosok solois jazz ini.
Lagu ke dua berjudul Sesaat masih bertempo hampir sama dengan lagu pertama, rupanya dalam susunan track ini Dias masih terkesan ingin berbasa - basi terlebih dahulu, tak ingin buru - buru menghabiskan sesi intro bertemu dengan pendengarnya.
Track Konang membuka perkenalan Dias melalui alunan gitar akustiknya, agak mellow namun tetap tegar dalam tiap susunan bagian lagunya. Track ini kembali sukses menyusun perasaan kangen, agak sendu. Bass pun mendapatkan porsi untuk bermain lead di tengah lagu. Manis. Arransemen bergantian yang dilakukan berdasarkan pembagian frequensi, tidak melulu gitar akustik, perasaan berbagi muncul disini.
Track ke 4 Bandar Lampung, mungkin ini disebut sebagai track pemecah mood. Biasanya ketika mendengarkan CD secara runtut, track ke 4 adalah track salah satu titik pendengar melakukan intropeksi mood. Dias menyisipkan Bandar Lampung dengan cukup tepat, selain pilihan judulnya arransemen musiknya menarik. Teduh diselingi pattern drum yang lumayan nakal.
Track Bajak Laut, membuka bunyi track ke 5. Intro yang lumayan cukup gelap. Kesan saya apakah sang “Bajak Laut” menemukan kegagalan dalam menemukan benua baru? Yup. Pilihan judul kadang membantu khayalan pendengar, khususnya album instrumental ini. Agak sedikit galau.
Nyanyian Untuk Kakek melanjutkan perjalanan kita pada track ke 6. Kembali Dias memainkan gitar akustiknya. Cukup panjang pada bagian intro berduet dengan Bass. Ini semacam ringkasan singkat dari mood lagu ke 4 dan ke 5. Begitulah apresiasi yang bisa saya sampaikan. Seperti tarian lelaki dan perempuan dengan pelukan erat dikedua tangannya.
E.C.U. Atau kependekan dari Electronic Control Unit, salah satu track favorit saya. Bersyukur sekali saya sampai pada track ini. Ini adalah track yang pengen saya liat versi livenya. Pasti asyik dan sangat experimental. Kalo tidak salah Dias menyuarakan gitarnya layaknya seperti syntesizer. Bagi pemain keyboard seperti saya, pasti suka dengan track ini.
Album ini ditutup dengan Doa, satu buah track Dias yang cukup smooth. Jujur saya tidak terlalu berani berkomentar pada track ini. Kedengarannya seperti harapan pribadi Dias kepada sesuatu yang dia yakini. Terlalu intim bagi saya. Namun apa yang dia perbuat album ini ditutup dengan sangat spiritual. Terlepas dari imajinasi judulnya, album ini tersusun dengan rapi. Baik dari sisi produksi dan pilihan judul.
Seperti yang sudah saya ungkapkan pada paragraf sebelumnya, dominasi album solois intrumental masih belum terlalu lebat. Usaha Dias menjadi langkah pemberani di era single hits dan arransemen popular, apalagi ini direkam secara Live.
Dari sini saya banyak belajar, bahwa memiliki sebuah album layaknya kita memiliki rumah sendiri. Kita bebas menyusunnya, mewarnai corak temboknya dengan pilihan cat warna aransemen serta membiarkan hidup tanpa perlu terlalu banyak campur tangan manipulasi. Biarkan selaras dengan lainnya.
Ada sedikit cacat pada album ini, yaitu kenapa baru dirilis tahun 2014 ? Segeralah kalian mendengarkannya secara utuh serta merasakan sendiri mood yang mereka tawarkan. Bagi saya, album ini layak duduk dalam deretan rack koleksi CD di studio saya.
Terima Kasih untuk rekan - rekan Art Music Today dan Rekam Bergerak, dan yang paling spesial buat Dias Agusta.
Salam Audio,
Budi Pasadena Studio
www.budipasadena.com
.jpg)
0 Komentar